...
Tiap
manusia normal pasti punya suatu hubungan tertentu terhadap binatang.
Entah itu hubungan baik, buruk, pertemanan, hingga pernikahan. Yang
terakhir kayaknya berlebihan.
KETIGA
Begitu
juga dengan gue. Gue punya hubungan tidak baik [mengerikan] terhadap
beberapa hewan yang berlaku hingga sekarang;
SATU
Anjing.
Hubungan tidak baik gue dengan anjing bermula saat gue berumur SD
kelas 3. Di suatu sore. Gue, Afif, Faza, dan Ena [temen sekitar
rumah] pergi bermain ke sebuah lapangan. Disana mereka bermain sepak
bola. Karena gue gak bisa main bola (sewaktu
SD gue emang cowok pendek-ingusan-nan-cemen),
gue hanya duduk termangu di bawah mistar gawang sambil nyakar-nyakar
rumput, galau-in ranger kuning yang akhirnya jadian sama ranger biru, bukannya merah. Gue sedih. Gue kecewa. Iya.., gue melankolis sejak lahir.
Percaya
atau nggak. Tiba-tiba langit jadi kelabu, burung-burung terbang
memutar membentuk lingkaran dengan persamaan x2 + y2 −4x + 2y − 4 = 0. Lalu Ena berlari
dari samping, gue liatin dia dengan wajah heran, dia natap gue, lalu
njerit.., ‘AAASSUUUU!!!!’. Gue marah. Gue lempar sandal. Kena
kepala dia. Dia jatoh. Gue ketawa. Dia njerit ‘AASSUUU!!!’ Sambil
menunjuk kebelakang gue. Baru gue sadar ternyata emang ada Anjing
BENERAN sedang lari menghampiri gue. Gue panik. Gue njerit
‘AAASUUU!!’, ‘Iya, itu asu!’ kata Afif, membenarkan. Si
anjing nyaut ‘GGAAUGH!’. Gue tetep panik. Gak mau kalah sama si
anjing, gue ikut nyaut (lagi) ‘AAASSSUU!!’ ‘Lari bego!’ teriak Faza.
Gue lari, tapi salah.
Alhasil, gue yang dikejar sama Anjing itu. Gue takut. Napas gue ngos-ngosan.
Perut jadi mules. Gue nyanyi bintang kejora. Gak ngaroh, bego. Gue
berdo’a minta keajaiban supaya gue bisa terbang. Dan seketika..,
gue kepecirit.
Entah
karena kasihan, capek, atau gak kuat akan bau tahi gue, si anjing
bangsat itu pergi menjauh. Ena nangis. Faza sujud syukur. Afif
ketawa. Gue, hampir mati.
Disinilah,
pertama kali gue belajar bahwa tidak semua yang kita dapat adalah
sesuatu yang kita inginkan, kadang adalah sesuatu yang kita butuhkan.
Kepecirit.
KEDUA
Cicak.
Pertama-tama, gue gak takut sama cicak. Melainkan, gue benci sama
cicak!
Sebagian
dari diri gue selalu bertanya ‘cicak itu terbuat dari apa!?’,
dimana-mana selalu ada cicak. Gak diruang tamu, ruang makan, kamar
gue, kamar adek gue, kamar pacar, kamar cowoknya, selalu ada cicak.
Yang gue benci adalah, mereka gak punya sopan-santun. Berak
dimana-mana. Posisi berak cicak yang paling gue benci adalah, di atas
kepala.
Gue
lagi asik-asik makan sambil nonton Dxd
Highschool
bareng adek gue. Tiba-tiba, ada sebutir tahi cicak mendarat ke
makanan gue. Gue belum sadar. ‘Dek, kamu naroh meses ke nasi
abang?’ tanya gue. ‘nggg...’ belum sempet dia jawab, gue udah
motong ‘kayaknya enak deh..’ La
Chocolate House Lizard Rice-pun,
sukses gue makan. ‘Bang, itu punyanya cicak diatas’. Sejak saat
itu gue gak ngomong sama adek gue.
KETIGA
Burung.
Nggak kayak cowok pada umumnya yang tergila-gila akan burung hingga
rumahnya di penuhi kandang burung, gue malah sebaliknya.
Pertama-tama,
gue bukannya takut sama burung. Gue, geli.
Gue
geli dari wujudnya yang kecil menggumpal, kenyal-kenyal, dibalut
bulu-bulu halus-keras, dan tatapan matanya yang seakan-akan selalu
melototi gue kayak gak terima kalo gue ini adalah seonggok manusia.
Pernah
suatu ketika, waktu kelas delapan SMP. Ibu kantin langganan gue,
menangkap seekor burung didepan kelas. Dengan enteng nan gagah berani
dia nyodorin burung itu ke muka gue yang baru aja keluar dari kelas.
Sontak gue terejut, dan lari. Melihat kejadian itu, ibu kantin ini
malah ngerjain gue dengan ngejar gue sambil teriak “Mas, ini
burungnya dipegang mas..! ntar lepas, terbang lagi loh!”, “Bodo amat, Bu! Aku udah punya! Ah!!” Jawab gue sambil ngelilingi
lapangan upacara sekitar lima kali.
Semua orang melihat kejadian itu, termasuk pacar gue. Alhasil, dua hari setelah peristiwa tak berbudaya dan tak bermoral itu, gue diputusin sama dia.
Semua orang melihat kejadian itu, termasuk pacar gue. Alhasil, dua hari setelah peristiwa tak berbudaya dan tak bermoral itu, gue diputusin sama dia.
Makasih,
Bu. Burungnya!