In
Malio
...
Malio, senja itu.
Dingin. Dan langit berwarna abu-abu.
Aku sendiri. Sedang menyendiri, di salah-satu kursi
trotoar, di bawah lampu jalan. Berhawa syahdu. Mungkin akan lengkap jika ada
penjual vcd bajakan yang memutar payung teduh.
Aku hanyut, memandang manusia dan kendaraan (juga kuda)
berwara-wiri tiada henti. Tidak ada lelah.
Aku, (sekali lagi) sendiri.
Dan.
Aku kosong.
Tidak tahu pasti apa yang sebenarnya aku rasakan.
Sore
itu begitu banyak. Too much.
Hangat senang dan dingin sepi, aku rasakan di waktu
yang sama.
Aku yang merasa senang karena baru saja diberi hadiah
pekerjaan yang aku impikan oleh Allah. Dan aku yang kini tengah merasa sedih
harus meninggalkan Ibu dan Adikku di rumah, jauh dari mereka.
Kepalaku berat. Otakku terisi penuh dengan pikiran-pikiran.
Pikiran
aku yang senang bertemu teman baru, aku yang takut kesepian, aku yang senang
akan mengenal kuliner baru, aku yang
takut mau makan pake apa, aku yang senang dengan semangat baru, aku yang
takut akan menyerah, aku yang senang
bisa berada di kota romantis ini, aku yang begitu takut akan tersesat, aku yang
senang melangkah satu langkah, dan aku yang bingung selanjutnya kemana?
Aku senang, dan, aku ragu.
Apa aku bijak?
Apa aku tepat?
Aku senang mengejar impianku.
Tapi aku juga patah hati
karena jauh dari sayangku.
Berpikir
sebetapa indahnya pagiku dengan dunia baruku,
sekaligus terpikir sebetapa
dinginnya setiap malamku merindu Ibu.
Orang-orang bilang bahwa ini adalah proses
pendewasaan. Agar kita mengerti sebetapa kecil kita di dunia, sebetapa tak
berdayanya kita jauh dari rumah, sebagaimana hebatnya arti kata ‘sendiri’,
berteman dengan inisiatif, berhati-hati dengan antusias, dan berkenalan dengan
logika.
Aku takut dan benar-benar takut.
Kepalaku benar-benar berat, jemariku menggigil, kakiku
lemas berjalan seharian, perutku kosong lupa makan sedari pagi, botol minumku
tinggal setengah isi, langit gelap, dan penjual mainan tidak menjual gorengan. Wadefak!
Aku pejamkan mataku.
Rapat lebih rapat lagi.
Aku
mencoba mengkosongkan pikiranku, memasuki alam bawah sadarku, lebih dalam dan
lebih dalam lagi. Lalu.., aku tidak terhipnotis, aku juga tidak jadi gila!
Aku hanya mendengar suara yang jelas. Sangat jelas.
Suara yang membuka mataku. Juga mengusir pikiran-pikiran berat itu.
Tau? Suara apa itu?
Kuda! Suara kuda!
Bukan tuktiktaktiktuk!
Itu suara sepatunya. Bukan suara kudanya, bego!
Melintas delman daerah istimewa di sampingku. Aku
takjub.
Kuda itu ditutup matanya, dan dia berlari! Wow.
Maksudku,
kuda saja berani berlari walaupun matanya tertutup.
Karena apa? Karena dia
percaya. Dia punya kepercayaan. Justru,
jika dia takut berlari dan malah berhenti, dia akan mendapat hukuman.
Aku? Mataku tidak tertutup, aku masih bisa melihat
cewek bule yang tinggi semampai disebrang jalan. Dan, aku juga punya
kepercayaan. Jadi.., kenapa aku tidak percaya? Kenapa aku ragu? Kenapa aku
takut? Jika aku berhenti dan tidak berbuat apa-apa, bukankah justru Allah akan
mencambukku? Memberiku hukuman karena menjadi manusia yang tidak tawaqal?
Yang ditutup matanya adalah kuda yang berlari itu,
bukan aku. Tapi kenapa yang merasa gelap adalah aku? Beranjak melangkah kedepan
saja takut luar biasa. Bahkan, orang buta di Malioboro saja tidak takut
tersesat. Dengan percaya diri mereka berjalan di tengah trotoar yang ramai itu.
Aku sadar. Menyadarkan diri.
Aku baik-baik saja!
Ibu dan adikku juga baik-baik saja!
Rindu akan menjadi bumbu setiap pagiku untuk giat
bekerja.
Malamku
akan selalu menjadi mimpi indahku memimpikan mereka.
Dan pulangku, akan memberi bangga keluargaku.
Ditulis oleh Febri Aditya, di Yogyakarta pada tanggal
17 November 2017 jam 1.33 dini hari Waktu Jogja Istimewa. Dan waktu kalian tidur tentunya.
#FYI : Di tengah trotoar jl. Malioboro terdapat guiding block ialah jalan yang berguna
sebagai jalur/putunjuk arah bagi tunanetra.
#Well, jangan cuma nonton film bioskop saja yang
kalian upload di story. Nge-silueeet juga
dong. Aslik tidak ilegal je..!
Guiding block |