Malio

November 17, 2017


...


Malio, senja itu.

Dingin. Dan langit berwarna abu-abu.

Aku sendiri. Sedang menyendiri, di salah-satu kursi trotoar, di bawah lampu jalan. Berhawa syahdu. Mungkin akan lengkap jika ada penjual vcd bajakan yang memutar payung teduh.

Aku hanyut, memandang manusia dan kendaraan (juga kuda) berwara-wiri tiada henti. Tidak ada lelah.

Aku, (sekali lagi) sendiri.

Dan.

Aku kosong.

Tidak tahu pasti apa yang sebenarnya aku rasakan.
Sore itu begitu banyak. Too much.

Hangat senang dan dingin sepi, aku rasakan di waktu yang sama.
Aku yang merasa senang karena baru saja diberi hadiah pekerjaan yang aku impikan oleh Allah. Dan aku yang kini tengah merasa sedih harus meninggalkan Ibu dan Adikku di rumah, jauh dari mereka.

Kepalaku berat. Otakku terisi penuh dengan pikiran-pikiran.
Pikiran aku yang senang bertemu teman baru, aku yang takut kesepian, aku yang senang akan mengenal kuliner baru, aku yang  takut mau makan pake apa, aku yang senang dengan semangat baru, aku yang takut akan menyerah,  aku yang senang bisa berada di kota romantis ini, aku yang begitu takut akan tersesat, aku yang senang melangkah satu langkah, dan aku yang bingung selanjutnya kemana?

Aku senang, dan, aku ragu.

Apa aku bijak?

Apa aku tepat?

Aku senang mengejar impianku.
Tapi aku juga patah hati karena jauh dari sayangku.

Berpikir sebetapa indahnya pagiku dengan dunia baruku,
sekaligus terpikir sebetapa dinginnya setiap malamku merindu Ibu.

Orang-orang bilang bahwa ini adalah proses pendewasaan. Agar kita mengerti sebetapa kecil kita di dunia, sebetapa tak berdayanya kita jauh dari rumah, sebagaimana hebatnya arti kata ‘sendiri’, berteman dengan inisiatif, berhati-hati dengan antusias, dan berkenalan dengan logika.

Aku takut dan benar-benar takut.

Kepalaku benar-benar berat, jemariku menggigil, kakiku lemas berjalan seharian, perutku kosong lupa makan sedari pagi, botol minumku tinggal setengah isi, langit gelap, dan penjual mainan tidak menjual gorengan. Wadefak!

Aku pejamkan mataku.
Rapat lebih rapat lagi.
Aku mencoba mengkosongkan pikiranku, memasuki alam bawah sadarku, lebih dalam dan lebih dalam lagi. Lalu.., aku tidak terhipnotis, aku juga tidak jadi gila!

Aku hanya mendengar suara yang jelas. Sangat jelas. Suara yang membuka mataku. Juga mengusir pikiran-pikiran berat itu.

Tau? Suara apa itu?

Kuda! Suara kuda!

Bukan tuktiktaktiktuk! Itu suara sepatunya. Bukan suara kudanya, bego!

Melintas delman daerah istimewa di sampingku. Aku takjub.
Kuda itu ditutup matanya, dan dia berlari! Wow.
Maksudku, kuda saja berani berlari walaupun matanya tertutup.
Karena apa? Karena dia percaya.  Dia punya kepercayaan. Justru, jika dia takut berlari dan malah berhenti, dia akan mendapat hukuman.

Aku? Mataku tidak tertutup, aku masih bisa melihat cewek bule yang tinggi semampai disebrang jalan. Dan, aku juga punya kepercayaan. Jadi.., kenapa aku tidak percaya? Kenapa aku ragu? Kenapa aku takut? Jika aku berhenti dan tidak berbuat apa-apa, bukankah justru Allah akan mencambukku? Memberiku hukuman karena menjadi manusia yang tidak tawaqal?

Yang ditutup matanya adalah kuda yang berlari itu, bukan aku. Tapi kenapa yang merasa gelap adalah aku? Beranjak melangkah kedepan saja takut luar biasa. Bahkan, orang buta di Malioboro saja tidak takut tersesat. Dengan percaya diri mereka berjalan di tengah trotoar yang ramai itu.

Aku sadar. Menyadarkan diri.

Aku baik-baik saja!

Ibu dan adikku juga baik-baik saja!

Rindu akan menjadi bumbu setiap pagiku untuk giat bekerja.
Malamku akan selalu menjadi mimpi indahku memimpikan mereka.
Dan pulangku, akan memberi bangga keluargaku.


Ditulis oleh Febri Aditya, di Yogyakarta pada tanggal 17 November 2017 jam 1.33 dini hari Waktu Jogja Istimewa. Dan waktu kalian tidur tentunya.


#FYI : Di tengah trotoar jl. Malioboro terdapat guiding block ialah jalan yang berguna sebagai jalur/putunjuk arah bagi tunanetra.

#Well, jangan cuma nonton film bioskop saja yang kalian upload di story. Nge-silueeet juga dong. Aslik tidak ilegal je..!


Guiding block


You Might Also Like

0 komentar