Muntah
September 02, 2018...
Gue dari kecil jarang
sarapan.
Mulai masuk TK, tepatnya.
Gue gak sarapan, sih,
gara-gara gue-nya aja, yang bangunnya mepet, susah dibangunin gitu. Sudah
bangun, eh masih bisa tidur lagi.
Terus. Mandinya lama. Enggak bisa pakai seragam
sendiri, dulu, buat gue, ngancing baju adalah hal yang sangat membingungkan,
mana TK gue sudah pakai kemeja, ada rompi berkancingnya segala lagi.
Otak gue
ngga nyampe!
Belum sama nyari kaos kakinya. Bisa berjam-jam tuh.
Tapi tenang. Gue gak lama kok kalo pakai sepatu.
Dari dulu gue suka pakai sepatu kreketan. Otak gue buffering kalo pakai sepatu bertali. Cupu!
Karena kebiasaan gak sarapan ini berkelanjutan. Alhasil gue mudah magh. Biasanya sih paling parah cuma mual doang. Enggak sampai muntah lah ya. Gengsi bos!
Dulu, lo ketahuan boker di
wc sekolah aja dianggap aib.
Lo dipandang hina sama teman-teman, dikucilkan
dari kawan.
Gue heran aja. Padahal ini
udah bener, boker ya di wc, kebetulan aja wc-nya di sekolah pas lo masih jam
sekolah. Pun diledekin, dianggap
hina, bocah kotor.
Belum yang kecepirit?
Diarak keliling TK?!
Dulu, nemuin temen yang kecepirit
itu udah kayak nemuin maling. Heboh, panik, rusuh, juga menimbulkan rasa bangga
tersendiri bagi dia yang pertama nemuin pelakunya (yang cepirit).
‘eh..eh., bau apa nih?’
sadar salah satu teman kelas. Disusul seluruh kelas mendengus.
‘ini sih bau tai nih’ duga
bocah TK sotoy.
‘iya nih. Fix! Ada yang kecepirit nih!’ teman satu mejanya
bocah TK sotoy yang juga sotoy.
Lalu berdiri ketua kelas
‘siapa nih yang kecepirit nih? Ngaku!’
Buat bocah TK yang suka nonton
sinetron pasti tahu apa yang harus dia omongin setelah dialog tadi,
‘mana ada kecepirit
ngaku?’
Sinetron banget kan.
Sekelas hening. Seluruh mata bertatap-tatapan. Saling mencurigai satu-sama-lain. Untung dulu belum kenal permainan werewolf, bisa jadi nanti ada bocah TK yang digantung rame-rame cuma gara-gara kecepirit doang. Viral sih mungkin.
Setelah sekelas mendengus
lama, saling menciumi pantat teman-temannya, lalu ketemu-lah sang pelaku kecepirit!
‘Gaes..,gaes.. ini dia gaes
yang kecepirit!’ Tunjuk Dimas bangga ke pantat Rani. Diikuti seluruh pasang
mata menatap Rani dengan tatapan siap mengarak Rani keliling TK sambil bawa
obor, meneriaki Rani ‘Rani keeepecirit...Rani kepeciriiit!!!’
Rani yang tertangkap basah tengah melakukan dosa
besar di TK kami pun hanya bisa pasrah, menutup mukanya
dengan kedua tangan.
Tak sanggup diolok-olok sekelas (dan mungkin juga rasa
sakit perutnya karena ngempet boker), Rani memutuskan berlari kabur menuju wc
TK.
.., meninggalkan jejak..,
berwarna kuning.., benyek.., dan masih terlihat segar.., secuil-cuil..,
berselerakan mengikuti kemana dia berlari.
Sontak sekelas bersuara
‘HHHIIIIII.....!!!!’
Kita beramai-ramai menutup
hidung.
‘bauk-bauk!!’ heboh sekelas. Lalu ada anak ingusan yang memecah
keriuhan ‘emang bauk?’ penasarannya bocah ingusan.
‘cium aja tuh sendiri!’
suruh temen-temennya.
Si goblok ini nurut. Dia mendengus, menciumi sisa tai Rani yang ada di kursi, didengusnya beberapa kali untuk memastikan
Si goblok ini nurut. Dia mendengus, menciumi sisa tai Rani yang ada di kursi, didengusnya beberapa kali untuk memastikan
‘iya, bauk.
Bauk tai!’ seru dia. Teman-temannya melihat dia dengan jijik.
Ya. Hari itu gue diarak
bareng Rani.
Iya, bocah ingusan goblok itu gue.
Gue dianggap sama hinanya
dengan Rani.
...
Dan MUNN-DTAACH. Muntah.
Dia
punya kelasnya sendiri, dianggap lebih hina, lebih kotor, lebih pendosa
daripada pelaku kecepirit.
Makanya, tiap kali gue mual,
gue selalu nahan buat nggak muntah di kelas (dan sekitarnya).
Tapi, pagi menjelang siang itu gue bener-bener mual. Jam pelajaran sudah
selesai, sekelas sudah beres-beres hendak pulang, Ibu Guru juga sudah bersiap
buat memimpin doa pulang.
Ditengah itu ada gue.
Ada gue, bocah tengil dekil
dengan gaya rambut mangkok rada pirang yang terlalu lurus sampai-sampai ngga
butuh sisir sepanjang hidupnya sampai SD, merasakan mual yang tak terkira,
sakit, lemas tapi tegang, keringetan dingin deras.
Gue mual banget hari itu.
Dan gue merasa bakalan muntah.
Tapi karena gengsi yang tinggi, rasa takut
diolok-olok dan dipandang hina oleh teman-teman, gue mencoba keras menahan mual
ini.
Tapi gue lemah. Hari itu
rasa mualnya luar biasa.
Gue muntah.
Hughh!
Cairan muntahan gue sudah
keluar dari tenggorokan. Tapi gue tahan biar ngga keluar. Gue tutupin mulut
pakai kedua tangan.
Alhasil mulut gue
menggelembung, mana waktu kecil pipi gue tembem, jadi keliatannya gede
banget tuh mulut. Muka gue merah biru ngeden gitu.
Selama sekelas berdoa, gue berusaha sangat keras
buat menahan muntahan ini supaya tidak keluar. Tapi lama-kelamaan gue mulai
gak tahan sama rasanya di dalem mulut. Cairan muntahan ini dikit-sedikit
meluber keluar mulut. Membasahi tangan gue perlahan. Baunya gak enak banget
sumpah.
Guru gue yang menyadari
terlihat bingung.
‘Febi, kamu kenapa? Kok
nggak berdoa?’ Tanya Ibu Guru heran.
Sekelas nengok ke arah gue.
‘Kenapa, Feb?’ Ibu Guru
masih keukeuh nanyain.
Lagi gue cuma menggeleng-geleng.
Si bangsat Daryanto ini, yang
duduk sebelah gue, saking penasarannya nekat narik tangan gue. Panik!
Terjadi adegan tarik-tarikan
nih. Cukup lama. Tapi karena si bangsat ini lebih gede, dia narik gue keras
dengan satu hentakan!
Muntahan gue menyembur
keseluruh meja dan menciprat kemana-mana, termasuk muka si Daryanto. Mampus lo tolol!
Sekelas menatap gue. Gue
menatap mereka. Kita tatap-tatapan. Lalu disusul dengan tawa bergembira
temen-temen sekelas. Mereka sampai terpingkal-pingkal.
‘HOAAHAHAHAHAA....’ ‘si Pebi
muntah HAHAHAHA’ ‘CUPUUUUUU!!’
Semenjak hari itu, gue
dicengin temen-temen. Terutama Daryanto. Dia pindah tempat duduk, meninggalkan
gue. seolah dia jijik deket-deket gue.
Gue dianggap lemah, hina dan
kotor karena muntah di kelas.
Gue merasa mereka suci, gue
penuh muntah.
...
Lalu ada pagi itu terjadi.
Di TK, dulu ada wahana
permainan yang muter-muter. Gue ngga tahu apa namanya.
yang gini nih. kampret bener! |
Sewaktu jam istirahat nih,
cowok-cowok kelas gue nongkrong disitu kan. Kami ngobrol bercanda santai doang
disitu sambil lirih muter. Lama-lama ada temen gue, Daryanto, si bangsat. Yang
iseng muterinnya jadi makin cepet.
Awalnya semua seneng,
lama-lama, si kampret ini muterinnya tambah kenceng. Mulai pusing-lah kita.
Satu persatu temen gue berhasil turun dari wahana dengan cara loncat.
Semuanya bisa begitu. Kecuali gue.
Tinggal gue sendiri yang
masih diputer-puterin. CEMEN. Gue gak bisa kayak temen-temen gue langsung
loncat aja. Gue terlalu cupu.
Gue cuma bisa pasrah.
Diputer-puterin.
Karena merasa enteng, si kampret menambah tenaganya. Melihat
itu, temten-temen pada girang, mereka menertawakan gue yang mukanya udah
lesu-pusing-mual gini. Beberapa dari mereka juga ikut turun tangan membantu
Daryanto muterin gue. Makin pasrah kan. Terbang-terbang deh gue.
Gue sudah gak bisa teriak-teriak histeris lagi, gue sudah lemas. Temen-temen juga sudah capek dari tertawa terpingkal-pingkalnya. Daryanto dan lainnya melepas putaran. Gue melambat.
Sampai benar-benar puteran
berhenti, gue baru beranjak. Gue keluar sempoyongan dari mainan biadab itu.
Temen-temen mensorak-soraikan gue.
Di depan ada Daryanto.
Sambil sempoyongan nggak jelas, gue berjalan menuju dia. Daryanto raih gue,
membantu biar berdiri tegak. Kerah bajunya gue raih. Mata gue berkunang-kunang.
Gue merasakan tekanan yang tidak wajar dari dalem badan.
Ada hening diantara
kita.
Panjang.
‘HEGH. HHOEEGGHH!!!!’ Spontan gue muntah di bajunya Daryanto, di depan
teman-teman.
Daryanto menatap gue dalem.
Ada hening seketika.
‘HOOEEEGGHHH!!!’ si bangsat
ini ikutan muntah.
Disusul dengan teman-teman
yang lain.
‘HUEGH’ ‘HOUGHH’ ‘HEEGGHH
SOORR!!’ ‘HHHOOEEGGHH’
Kami satu angkatan muntah
berjama’ah.
Dalem hati gue ‘Mampus
kalian semua. Mampus! Rasain!’
‘TERUTAMA LO DARYANTO!!!!!’
Hari itu, tidak ada satupun
pengharum atau wangi-wangian yang dapat menolong sekolah kami.
Hari itu gue belajar bahwa
muntah itu menular.
Dan kami se TK sepakat,
muntah bukan lagi olok-olokan.
0 komentar