U.T.S

October 25, 2015


...



Awalnya gue merasa bahwa UTS kali ini sama seperti UTS-UTS sebelumnya. Gak ada yang menarik. 
Kita cuma disuruh berangkat ke sekolah lebih siang, duduk di depan pintu kelas, nunggu guru pengawas dateng sambil bawa bungkusan yang berisi soal sama kunci kelas, masuk, isi nama dan nomor peserta, tidur, bangun, nengok wajah pengawas, tidur lagi, bel, pulang. Selama seminggu.

Tapi ternyata gue salah. UTS kali ini tidak seperti biasanya. Pertama, UTS kali ini gue gak punya catetan materi (terutama mata pelajaran yang mempelajari kehidupan dan organisme hidup, termasuk struktur, fungsi, pertumbuhan, evolusi, dan sistem reproduksi yang apalah gue nggak kuasa tuk menyebut namanya), horor, dan berbau.


Dikarenakan gue gak punya catetan, akhirnya selama seminggu ini gue belajar bareng bersama Jepak dan Hemed. Lalu kedatangan satu member lagi, sang pemuja setan ‘Rakancut’. Tiap malam kami belajar dan bermain bersama hingga pada suatu malam kami sedang ngobrol-horor dengan asiknya dan mulailah lampu ruang tamu berkedap-kedip layaknya mata orang lagi nahan pup. Nyaris hening, udara jadi lebih dingin, malam mulai gelap, kopi gue habis, terdengar lirih suara kunyahan wafer ‘ricis nibiti’ di mulut Hemed, dan tiba-tiba listrik rumah Jepak mati. Lalu kami pulang, dengan cara berpisah. 

Gue sendirian makek sepeda, Hemed jalan kaki bareng Rakancut. Tak lama kami pergi, katanya, Jepak mendengar suara aneh kombinasi dari suara rintihan dengan nyanyian sinden, Hemed merasa ada yang ‘ketiga’ mengikuti dari belakang mereka bedua, Rakancut merasa ‘berat’, sedangkan gue sendirian menelusuri jalannya malam yang sepi dan dingin (sekitar jam 23.30) mendengar suara nyanyian lirih mirip lagu “Raisa – Apalah Arti Aku Menunggu” dari ujung earphone gue, padahal waktu itu nggak ada Raisanya. Sungguh malam yang cukup horor, untuk sebuah minggu UTS


Hari pertama UTS, nggak ada masalah. Tidak ada keanehan yang cukup berarti, selain gue duduk bersebelahan dengan adek kelas satu berkelamin jantan, bercelana ala The Changcuters yang membuat bajunya terlihat kedodoran, dengan ekstrak semir warna merah menyala di ujung poninya. Iyah.., fashion jaman sekarang memang kejam.

Hari kedua, gue mulai merasa ada yang janggal. Saat pertengahan gue garap soal Indonesia, mulailah tercium bau tidak sedap mirip sampah. Gue kira awalnya cuma ada keranjang sampah yang kebetulan lewat. 
Masuk ke hari ketiga, hidung gue mencium bau yang sama. Gue tanya ke Hemed, dia pilek. Lalu gue tanya Amir, dia jawab nggak tau apa-apa dan tidak bersalah. 
Hari keempat baunya tambah menjadi-jadi. Tapi dari hasil riset gue ke semua siswa (kelas tiga) di kelas CUMA GUE YANG MENCIUM BAU INI. 
Gue mulai penasaran, gue mencari sumbernya, gue mengendus-endus kebawah-bawah hingga kepala gue masuk ke laci meja dan sejajar dengan siku si adek kelas sebelah gue dan ketemu! Bau tidak sedap ini sangat kuat di daerah ini. Gue lirik ke atas, terlihat disana senyum manja-muntah dari adek kelas yang membuat gue menyimpulkan dialah penyebab bau itu. 

Sejak hari itu hingga hari terakhir UTS, gue diem-dieman sama doi. Tiap hari gue gembar-gembor ngode “Bau apa nih?”, “kalo sekolah mandi ya teman-teman”, “Kalo pengen nilai bagus ya harus mandi dulu wahai teman-temanku”, tapi gak berhasil. 
Lalu, gue beranikan diri buat bilang langsung ke adek kelas itu “Dek, bau gak?”, “Bau apa, mas?” jawab dia polos, “Bau ya bau. Kombinasi mematikan antara sampah sama ketiak”, “gak bau tuh, mas” jawab dia cuek. Gue semakin jengkel sama tuh anak. Sampai, gue ada niatan buat nulis di sebuah carik kertas buat gue tulis “Berangkat sekolah harus mandi dulu, dek. Pakek parfum juga biar ganteng maks. Elu tuh harus sadar, kalo lu tu bau, swag!”. Cuman, waktu gue mencari kertas di laci, tangan gue gak sengaja menyenggol bungkusan plastik yang kenyal-kenyal. Penasaran, gue ambil keluar tuh plastik dari laci dan bau busuk itu menyebar luas, adek kelas gue mengeluarkan ekspresi mau muntah sambil liat ke muka gue tanda jijik.

Ternyata bau tak sedap selama seminggu ini berasal dari bungkusan plastik berisi dua butir risoles dan satu butir puding, bukan bau badan si adek kelas gagal fashion itu. Gue merasa malu sama doi. Karena kami sesama cowok dan doi adalah adek kelas, gue gengsi buat minta maaf. Akhirnya gue tulis di selembar kertas “Sorry 4 accuse u. Nbody is perfect in this world. U’re so handsome and brave. Peace!” Gue kasih kertas itu, dia baca, terus nanya “Ini nomor berapa mas?”. Kan kampret.


You Might Also Like

0 komentar