Desember
December 26, 2015...
Setiap
orang pasti punya hari, tanggal, atau bulan yang mereka sukai,
terlepas apapun alasannya. Ada yang suka bulan Maret karena bulan
jadiannya, ada yang suka tanggal 25 dimana dia kehilangan laptopnya,
ada pula yang sayang banget sama hari minggu sampai-sampai
mencetuskan ide ‘tiap hari adalah hari minggu’, tolol.
Begitu juga dengan gue. Desember.
Kali
ini gue nulis cerita cengeng, tentang makna ‘desember’
buat gue.
Desember
adalah nama bulan terakhir dari duabelas bersaudara. Tapi, buat gue,
desember adalah ingatan. Ingatan tentang pertama kali gue punya adek,
pertama kali gue diizinin maen hujan-hujanan walaupun dengan catetan
gue harus pakek jas hujan iya-masa-kecil-gue-kejam,
pertama kali beli sepeda pakek-duit-sendiri-hasil-nyopet-dompet-Emak,
pertama kali ketemu doi, pertamakali pdkt, pertamakali nembak, dan
pertama kali ngerti, ditolak itu sakit.
Nah,
suatu malam di bulan desember, gue pergi ke kota sebelah dengan naik
kereta. Sesampainya di stasiun kota tersebut, gue keluar dari kereta.
Hujan turun.
Berjalan
lambat menuju deretan kursi tunggu penumpang, gue buka tas ngambil
jaket sepaket dengan earphone warna putih. Tubuh gue balut dengan
jaket merah maroon dengan telinga berkabel, memutar lagu payphone.
Gue duduk disana guna menuggu
hujan reda
menikmati hujan. Mata gue mulai menjelajah. Seketika gue menemukan
sebuah gadis gak jauh dari tempat duduk gue yang terlihat seumuran
atau mungkin lebih tua dikit dari gue, berdiri memegang hape dengan
raut muka kesal tapi unyu. Berulang kali dia terlihat mencoba
menelpon seseorang tapi gak ada jawaban. Dia kesal, kakinya
menggencat manja, bibirnya manyun, dan sekejap doi diam manis,
bengong memandang hujan. Menikmatinya. Kesurupan.
Satu
jam bengong liatin hujan, doi sukses
kesurupan
nyoba telpon lagi. Seketika, ‘Kamu
dimana?!!’ teriaknya
memecah keramaian. Cepat doi menutup telponnya. Hening. Udara semakin
dingin. Dan doi masih bertahan berdiri. Nggak lama kemudian datanglah
sesosok pria berjaket hitam tebal sewarna dengan sarung tangannya,
berhenti tepat didepan doi. Awalnya gue kira cowok ini tukang ojek
sampai si doi teriak-teriak gak jelas, si cowok buka kaca helm
memandangi doi, mulutnya bungkam. Sedangkan doi, masih tetap berdiri
marah meneriaki cowok itu tanpa peduli semua orang melihatinya. Si
cowok masih diam diatas motor. Lama, si doi-pun
terlihat lemas, dan akhirnya diam. Melihat doi sudah tak bersuara,
lirih cowok itu mengajaknya naik ke motor sejalan dengan dia merebut
tas punggung doi dan dipakainya. Doi mematung, tatapannya masih
tajam, tangannya mengepal kuat, dan tiba-tiba doi nonjok kearah muka
si cowok. Sayangnya, pinggiran lantai itu basah dan licin, doi
kepleset hampir jatuh, naas tonjokan kerasnya mengenai helm si cowok.
Merasa malu dan gak terima, doi nonjok lemas dada cowok itu dengan
tangan kirinya berulang kali. Tenang, si cowok menarik tangan kanan
doi, perlahan melepas kepalannya, memijit manjakan, samar terdengar
“masih
sakit?”.
Doi menggeleng lemas, menyeret kakinya naik ke motor, tanda menyerah.
Mesin dinyalakan, dan perlahan mereka menghilang.
Kalian
mungkin gak ngerti apa maksud dari cerita diatas, begitu juga dengan
gue. Sampai sekarang-pun,
gue nggak tahu kenapa gue pengen nulis cerita ini. Cuma, ada beberapa
hal yang sekarang gue ngerti..
- Cewek kalo lagi marah pantatnya bisulan. Gak doyan duduk.
- Jangan pernah marahan sama cewek di tempat-tempat umum. Percaya, kalian bakal jadi tontonan sinetron live action gitu. Parahnya, si cowok yang bakal disangka musuhnya.
- Lu, telat jemput cewek-lu, tamat.
- Kalo lu emang telat, pastiin lu udah makek helm.
- Kadang, ketika cewek sedang marah, ngeluh, kesel. Mereka hanya ingin didengarkan. Ini kalimat bijak.
- Hadapi cewek-lu dengan tenang. Percaya, kalo lu hadapi dengan marah, dipastiin lu bakal percaya kalo kyubi itu benar adanya.
- Mulai sekarang lu ajarin cewek-lu gimana caranya naik ojek, bus, atau taksi dengan benar. Ini akan menyelamatkan hidup mu.
Ini
bukan tentang bagaimana ceritanya, apa menariknya, apa tujuannya.
Tapi ini tentang, bagaimana rasanya. Apa selanjutnya?
0 komentar