Senja Kemarin

May 20, 2017



...


Senja di pusat kota memang ramai. Suara klakson kendaraan berkecepatan tinggi bersautan seolah mereka berteriak
"woi minggir, gue mau pulang!" "Gue juga!" Suara mereka
berkolaborasi dengan suara guntur dari langit, bersama-sama, menambah tensi jalanan sore itu. Menciptakan teater senja dengan alunan musik orkestra yang megah dan menggema. Tak, memberi kesempatan sedikitpun bagi audien untuk melamun, tunggu, atau-mungkin malah memberi suasana bagi mereka untuk melamun?.

Disisi lain, butiran hujan terlihat begitu indah bergelinciran teratur di dinding kaca warnet. Dan, disebelah pojok, sangat-pojok-sana yang sepi terjauh dari deretan anak-anak dota yang dengan mulutnya menyaingi kasarnya suara rx king, sedang menyepi, sendiri.

Di pojokan warnet sekali lagi, ada aku.
Pria tanpa asmara yang sedang menatap hujan bagai melihati foto Anya Geraldine, diam tanpa bergerak bola matanya, fokus pada-satu-titik. Terpaku, sulit melepas fokus pada satu titik itu. Titik fokus.
Sungguh indah Anya-nya senjanya.


Apa yang pria kesepian itu lakukan?


Tidak bisa pulang karena hujan?
Atau, menunggu waktu makan malam yang pas untuk menyantap nasi goreng lada hitam kesukaannya? Dia memang pecinta lada hitam.


Hmm, tetapi kali ini tidak untuk nasi goreng.


Kali ini untuk Iffah.

Mahasiswi pemalas yang setiap hari merengek akan kilometer yang memisahkan dia dengan masakan ibunya. Mahasiswi Jogja yang tidak tahu dimana Dagadu berada, dan selalu menangis setiap melewati ringroad sepulang kuliah, hanyut dalam kerinduannya.


Semalam, "Peb, gw minta tlg dong. Bikinin video buat poem gw. Deadline-nya lusa. Pls." WA dia memohon.

"Gk"

"Gw traktir Chokocha sama tiket Spiderman?"

"Ok."


Dan.., berakhirlah Pebi disini, dipojokan warnet sore hari, sendiri, sepi tapi tidak benar-benar sepi.



Tapi dia tampak kesal. Kenapa?

Bagaimana tidak, dia baru ingat kalau Adobe Premiere-nya sudah terhapus tempo hari, hanya karena salah reset.
Maka apa yang dia sedang lakukan adalah mendownload ulang.
Sambil menunggu, dia menatap keluar, memandang hujan, menikmati teater senja yang sesekali terganggu oleh gerutu mulut kenalpot rx king anak dota di deretan depan sana "anjing lemot! nyet!"

Lalu Pebi tersenyum sedikit.
Kalian pasti mengerti. Hehe.



Klik-klik..tap..klik..klik-klik..tap-tap..klik..


Dengan tangan cepatnya dia merancang video-teks dengan gaya orang mengetik di alat ketik, sesuai pinta Iffah. FYI, untuk membuat efek mengetik teks dalam sebuah software edit video, kalian harus membuatnya satu-per-satu huruf dan waktunya.
Artinya, tidak seperti di powerpoint yang kalian ketik paragrafnya lalu klik menu efek typewriter, dan semua akan berjalan otomatis. Tidak seperti itu. Itulah perbedaan instan dan pro.


Lalu ada beberapa hati yang bicara "halah gitu aja dibikin susah, kan bisa pake menu efek, kalo gak ya powerpoint, ribet amat."

"Semua orang bisa mengedit video dengan bagusnya. Semuanya. Tapi, tidak semuanya bisa menghargai hasilnya apalagi prosesnya."

100 menit telah berlalu.
Jari-jari itu mulai diregangkan, kerut di dahinya satu-per-satu melonggar, hela napas panjang menandakan ketegangan berakhir. Di luar dinding kaca warnet, teater senja telah usai. Jalanan dan langit yang menjadi panggung utama sudah sepi, hanya tersisa alunan musik penutup dari orkestranya. Alunan gerimis dengan ritme panjang dan nada yang tidak tinggi juga tidak rendah, hanya datar. Damai. Bagi mereka yang sudah berkumpul dengan keluarganya sekarang, setelah satu hari menikmati panggung sandiwara. Juga senja yang meriah.

Pria tanpa asmara mengirim email kepada perempuan perindu itu, semenit kemudian "Asyiikk makasih, Peb. Tapi kok kecepetan."

Masih tetep kena kritik. Lo pause aja biar diem, njg.



...


Guys, gue gatau Chokocha itu apa. Gue harap itu bukan kata lain dari es teh. Jadi, buat kalian yang tau, pls, kasih tau gue. Gue gak mau ditipu si bedebah itu.

You Might Also Like

0 komentar